Beberapa tahun terakhir, tulisan-tulisan tentang penulisan bahasa Arab ke aksara latin yang benar kerap bermunculan di media daring. Hal ini menimbulkan polemik karena ada pihak yang tidak setuju.
Misalnya tentang penulisan husnul khatimah dan khusnul khatimah, mana yang benar? Awalnya ada pihak yang menyatakan penulisan husnul khatimah benar dan penulisan khusnul khatimah tidak tepat. Aksi tersebut menimbulkan reaksi pihak lain yang menganggap kalau perkara itu tidak perlu dipermasalahkan.
Penulisan khusnul khatimah dipermasalahkan karena dianggap memiliki arti akhir yang hina. Sementara penulisan yang benar adalah husnul khatimah yang berarti akhir yang baik. Kalau kita lihat, perbedaannya ada pada konsonan h dan kh. H dianggap sebagai padanan untuk huruf hijaiah Ų sedangkan kh dianggap sebagai padanan huruf hijaiah Ų®. Penulisan yang benar dalam huruf Arab adalah ŲŲ³Ł Ų§ŁŲ®Ų§ŲŖŁ Ų©, maka penulisan latin yang benar adalah husnul khatimah bukan khusnul khatimah.
Di sisi lain, penulisan husnul khatimah atau khusnul khatimah dinilai tidak perlu dipermasalahkan. Alasannya, itu hanya masalah perbedaan transliterasi yang digunakan masing-masing penulis. Setiap penulis memiliki standar sendiri-sendiri dalam menentukan penulisan latin yang sesuai dengan tulisan Arabnya. Bisa saja seseorang menulis husnul khatimah, chusnul khatimah, atau khusnul khatimah. Tentu makna dari tulisan yang dimaksud adalah akhir yang baik bukan sebaliknya. Alasan lainnya, penulisan husnul khatimah juga bisa dianggap keliru karena huruf h juga digunakan untuk melatinkan huruf ŁŁ.
Kalau kita periksa, penulisan menurut pendapat-pendapat yang saling berseberangan di atas sama-sama belum sesuai dengan penulisan bahasa Indonesia formal. Jika setiap penulis memiliki standar sendiri, tentu akan memunculkan penulisan yang beraneka rupa seperti husnul khatimah, khusnul khotimah, husnul khotimah, chusnul chatimah, dan lain-lain. Sebenarnya itu bukan masalah jika digunakan dalam komunikasi non formal. Dan tidak perlu dipermasalahkan juga jika sudah menjadi nama orang atau nama lembaga. Namun dalam penulisan formal yang memerlukan ketepatan kata dan keefektifan kalimat tentu harus menggunakan penulisan yang baku.
Masalahnya masih banyak media yang menulisnya dengan husnul khatimah. Sebenarnya, sudah bakukah penulisan tersebut? Untuk menentukan baku atau tidaknya kata, kita bisa merujuk ke KBBI. Dalam KBBI, penulisannya ada yang įø„usnul-khÄtimah dan husnulkhatimah (tanpa spasi). Perbedaannya įø„usnul-khÄtimah berlabel ukp dan Ar yang menandakan kalau kata ini adalah ungkapan dan berbahasa Arab, sedangkan husnulkhatimah berlabel n dan Isl yang menandakan kalau kata ini kata benda bidang agama Islam. Jadi, husnulkhatimah adalah kata yang sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia sehingga penulisannya tidak perlu dicetak miring, sedangkan įø„usnul-khÄtimah statusnya masih bahasa Arab sehingga penulisannya harus dicetak miring.
Penulisan husnulkhatimah (tanpa spasi) adalah penulisan yang seharusnya digunakan dalam bahasa Indonesia secara luas. Penulisan seperti itulah yang baku. Sedangkan penulisan įø„usnul-khÄtimah bisa digunakan dalam konteks bahasa Arab atau jika ingin menulis sesuai makhraj dan panjang pendeknya.
Untuk penulisan įø„usnul-khÄtimah, saya belum menemukan aturan penulisan atau aturan transliterasinya. Penulisan seperti itu belum sesuai dengan kaidah transliterasi. Jika mengikuti pedoman transliterasi, penulisan yang benar adalah įø„usn al-khÄtimah bukan įø„usnul-khÄtimah. Sedangkan untuk penulisan husnulkhatimah, aturannya sebagai berikut:
Kenapa Ditulis Husnulkhatimah? Bagaimana Aturannya?
Kita awali dengan huruf h di awal kata husnulkhatimah, kenapa memakai huruf h bukan kh? Berdasarkan pedoman umum ejaan bahasa Indonesia (PUEBI), huruf įø„a ( Ų ) menjadi h dalam kaidah penulisan unsur serapan. Ini sama halnya dengan kata-kata seperti: halal bukan khalal, hakim bukan khakim, islah bukan islakh, sihir bukan sikhir.
Lalu kenapa ditulis husnulkhatimah bukan husnulkhaatimah atau husnulkhotimah? Bukankah seharusnya a-nya panjang dan bunyinya seperti o? Menurut PUEBI, bunyi a Arab pendek atau panjang menjadi a (bukan o). Ini sama halnya dengan kata-kata seperti: sahabat bukan sahaabat atau sohaabat, umrah bukan umroh.
Kenapa penulisannya disambung bukan dipisah, husnulkhatimah bukan husnul khatimah? Untuk yang ini, saya belum menemukan aturannya. Akan tetapi jika kita cermati kata-kata baku yang asalnya dari bahasa Arab, pada kasus seperti ini memang penulisannya disambung bukan dipisah. Lihat saja kata-kata seperti Zulhijah bukan Zul Hijah, khatulistiwa bukan khatul istiwa, Idulfitri bukan Idul Fitri, Iduladha bukan Idul Adha.
Kemungkinan, penulisan husnulkhatimah disambung karena dianggap sebagai gabungan kata yang sudah padu. Menurut PUEBI, gabungan kata yang sudah padu harus ditulis serangkai. Misalnya, kata kacamata. Kata kacamata, ditulis serangkai meskipun berasal dari dua kata dasar, yaitu kaca dan mata. Alasannya, karena kata kacamata adalah gabungan kata yang sudah padu.
Penulisan Menurut Pedoman Transliterasi
Tentu tidak semua kata atau istilah bahasa Arab dapat ditemukan penulisan bakunya dalam KBBI. Terlebih lagi, untuk melatinkan rangkaian kata yang cukup panjang, maka yang kita perlukan adalah menggunakan metode transliterasi.
Metode transliterasi yang digunakan di masyarakat cukup beragam. Itu sebabnya ada banyak versi penulisan husnulkhatimah. Contoh lainnya yang sempat heboh yaitu penulisan Insyaallah dan Amin. Beberapa tahun yang lalu sempat muncul tulisan yang mengatakan penulisan Insya Allah itu salah dan yang benar adalah In Shaa Allah. Ada pula tulisan yang mengajak orang lain menulis Amin dengan benar yakni Aamiin yang mana a dan i-nya harus panjang.
Dari kasus-kasus tersebut, kita bisa melihat masalahnya berasal dari penggunaan transliterasi yang berbeda-beda. Ada yang mengikuti transliterasi yang digunakan kebanyakan orang, ada yang mengikuti metode transliterasi versi negara lain seperti melatinkan Ų“ dengan sh, dan ada juga yang membuat kaidah transliterasi versinya sendiri.
Solusi untuk masalah ini adalah dengan menyeragamkan transliterasi. Tentu penyeragaman transliterasi harus dilakukan oleh pihak yang berwenang yaitu pemerintah dan bukan oleh orang atau golongan tertentu.
Sebenarnya pedoman transliterasi yang resmi dari pemerintah sudah ada sejak dulu. Pedoman transliterasi tersebut yakni Pedoman Transliterasi Arab Latin hasil keputusan bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.
Pedoman transliterasi yang resmi ini biasanya digunakan dalam penulisan-penulisan ilmiah seperti skripsi, jurnal ilmiah, atau buku-buku ilmiah. Sementara penulisan populer di media massa, media online, maupun media sosial oleh masyarakat biasanya tidak menggunakan transliterasi model ini.
Hal itu wajar. Selain karena kurang populer, juga karena penggunaan metode transliterasi ini cukup ribet. Penulisan husnulkhatimah misalnya, jika menggunakan transliterasi yang resmi, penulisannya menjadi įø„usn al-khÄtimah.
Kelebihan metode transliterasi yang resmi yaitu bisa melatinkan tulisan Arab dengan lebih tepat sesuai huruf aslinya dan panjang pendeknya. Itu karena beberapa huruf dalam transliterasi ini dilengkapi titik atau garis untuk membedakannya dengan huruf lain.
Mana yang harus diikuti, KBBI atau pedoman transliterasi SKB dua menteri?
Pedoman Transliterasi SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987 poin 8 tentang Penulisan Kata Arab yang Lazim digunakan dalam Bahasa Indonesia, memuat aturan yang mengatakan bahwa penulisan kata, istilah, atau kalimat Arab yang ditransliterasi adalah kata, istilah, atau kalimat yang belum dibakukan dalam bahasa Indonesia. Apabila sudah lazim dan menjadi bagian dari pembendaharaan bahasa Indonesia, atau sudah sering ditulis dalam tulisan bahasa Indonesia, tidak lagi ditulis sesuai transliterasi. Namun, bila kata-kata tersebut menjadi bagian dari satu rangkaian teks Arab, penulisannya harus ditransliterasi secara utuh.
Penulisan husnulkhatimah yang benar jika mengikuti aturan tersebut adalah mengikuti penulisan kata yang sudah dibakukan yakni husnulkhatimah. Namun jika kata husnulkhatimah berada dalam satu rangkaian teks Arab, penulisannya harus mengikuti pedoman transliterasi, misalnya bi įø„usn al-khÄtimah. Kembali lagi, ini diperlukan dalam penulisan ragam formal. Akan tetapi, tidak ada salahnya juga jika diterapkan dalam komunikasi non formal.